Rabu, 07 September 2011

STUDI PERBANDINGAN KONSEP KESELAMATAN DARI TEOLOGI LIBERAL, EKISTENSIALIS, KATOLIK, DAN INJILI


Oleh: Marthinus F. Kambey

Menurut Tony Lane dalam “RUNTUT PIJAR: Sejarah Pemikiran Kristiani,” bahwa keempat kelompok yang adalah pokok pembahasan dalam makalah ini dikelompokkan dengan tokoh-tokoh teolog dan dogma tertentu serta hasil Konsili:

Teolog Kaum Liberal diwakili oleh: Friedrich Schleiermacher, Albrecht Ritschl, dan Adolf von Harnack. Teolog Para Eksistensialis diwakili oleh: Søren Kierkegaard, Rudolf Bultmann, dan Paul Tillich. Teolog pihak Katolik-Roma –termasuk dogma tentang Maria dan hasil-hasil Konsili— adalah: John Henry Newton, Ineffabilis Deus (1854), Konsili Vatikan Pertama (1869-1870), Munificentissimus Deus, (1950), Pierre Teihard de Chardin, Konsili Vatikan Kedua (1962-1965), Karl Rahner, Hans Kung, dan Katekismus Gereja Katolik (1994). Kelompok Evangelikal/Injili diwakili oleh Charles Finney, Peter Forsyth, Benyamin Warfield, Gerrit Berkouwer, Helmut Thielicke, dan keterangan tentang Teologi Evangelikal, serta Gerakan Pentakostal dan Karismatik.[1]

Dengan meneliti tokoh-tokoh/teolog-teolog dan hasil-hasil Konsili serta Katekismus, maka kita dapat mengerti juga tentang konsep keselamatan –latar belakang dan perkembangan terakhir— dari teologi Liberal, Eksistensialis, Katolik, dan Injili.

I. TEOLOGI KAUM LIBERAL[2]

Liberalisme adalah pangkal penyesuaian yang mendasar antara teologi Kristen dengan dunia modern. Kaum Liberal bersedia melepaskan banyak unsur-unsur tradisional ortodoksi Kristen dalam usaha mereka mencari makna bagi zaman ini.[3]

1. Friedrich Schleiermacher

Penekanan Schleiermacher: Menekankan perasaan dan pengalaman; bapak dari religius liberalisme modern. Pandangan tentang Doktrin-doktrin Kristen : Tolak kejatuhan, dosa asal, kelahiran dari anak dara, dan penebusan substitusionari. Dosa adalah minat di dunia; iman adalah perasaan, bukan respons terhadap apa yang dikatakan Allah.[4]

Pendekatannya sama sekali baru. Pengertian pietisme bahwa agama itu perlu dirasakan dan dialami, oleh Schleiermacher dikembangkan sampai begitu jauh sehingga agama itu hanyalah perasaan dan pengalamannya. Pandangannya tentang karya Yesus Kristus terlalu rendah. Yesus Kristus tidak datang untuk menebus dosa tetapi untuk menjadi guru kita, untuk menjadi teladan bagi kita.[5]

Karya Yesus Kristus, sebagaimana dilihat oleh Schleiermacher, membuat kebangkitan-Nya, kenaikan ke sorga, dan kedatangan-Nya kembali menjadi tidak perlu lagi.

Louis Berkhof, ketika menjelaskan doktrin tentang iman dalam sejarah, mengatakan bahwa:

Schleiermacher, bapak teologi modern, hampir tak menyebutkan iman yang menyelamatkan dan sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai iman sebagai kepercayaan seperti seorang anak kecil kepada Tuhan. Ia mengatakan bahwa iman “bukan apa-apa kecuali pengalaman permulaan dari kepuasan akan kebutuhan spiritual kita oleh Kristus.”[6]

Berkhof menambahkan:

Pandangan Schleiermacher dan Ritschl menandai sesuatu yang besar dalam teologi liberal modern. Dalam teologi ini, iman bukan merupakan suatu pengalaman surgawi, tetapi merupakan pemerolehan manusia; bukan sekedar menerima anugerah yang diberikan, tetapi suatu tindakan atas manusia sendiri; bukan penerimaan terhadap doktrin, tetapi “membuat Kristus menjadi Tuan” dalam satu usaha untuk membentuk hidup seseorang menurut contoh Kristus.[7]

Jadi, Yesus hanyalah sebagai guru, teladan, atau contoh; bukan sebagai penebus dosa.

2. Albrecht Ritschl:

Penekanan Ritschl: Menekankan aspek etikal dan praktikal; pengajarannya menjadi dasar bagi Injil sosial. Pandangan tentang Doktrin-doktrin Kristen : Tolak dosa asal, inkarnasi, keilahian, penebusan, dan kebangkitan Kristus. Sangkal mukjizat. Definisikan dosa sebagai keegoisan.[8]

Ritschl menganggap konsep-konsep dosa dan penyelamatan lebih serius dari pada Schleieermacher, tetapi belum memadai juga. Ia menolak doktrin dosa warisan dan ia menandaskan bahwa orang dapat hidup tanpa dosa. Tidak ada murka Allah terhadap dosa, dan pendamaian yang dibawa Yesus sebenarnya hanyalah perobahan sikap manusia. Ritschl memandang enteng pribadi Yesus, sama seperti Schleiermacher bisa berbicara tentang keilahian Yesus tetapi maksud mereka adalah kemanusiaan Yesus yang sempurna. Yesus adalah Allah dalam arti bahwa Ia mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang Allah dan dipersatukan dengan Dia oleh ketaatan moral.[9]

3. Adolf von Harnack

Penekanan Harnack: Mengajarkan bahwa Paulus mencemarkan pengajaran Yesus dan Kekristenan. Ajarkan "kebapakan dari Allah dan persaudaraan di antara manusia." Pandangan tentang Doktrin-doktrin Kristen : Sangkali keilahian Kristus dan penebusan substitusionari-Nya. Ajarkan bahwa Paulus mencemarkan agama Yesus.[10]

Harnack –bersama Ritschl— berpendapat bahwa Injil telah dirusak karena pengaruh filsafat Yunani yang asing itu. Harnack mencoba menelusuri proses “peng-Yunani-an” atau “helenisasi” ini. Agama sederhana yang dianut Yesus itu telah diubah, khususnya oleh Rasul Paulus, menjadi agama mengenai Yesus. Ini pada gilirannya diubah menjadi dogma penjelmaan Allah Anak. Sangat lama liberalisme tidak diminati orang, tetapi sekarang ia mulai muncul kembali. Suatu terbitan baru yang populer, The Myth of God Incarnate (Mite Allah yang menjelma), adalah usaha untuk merehabilitasi pandangan liberal lama mengenai Yesus Kristus.[11]

Paul Enns mengemukakan pendapat kaum Liberal tentang keselamatan:

Dalam usaha liberalisme untuk relevan, penekanan pada keselamatan pribadi dari hukuman kekal ditolak, hal itu dianggap tidak relevan. Dengan semangat keoptimisan, liberalisme menetapkan untuk mendatangkan kerajaan melalui usaha manusia; jadi, injil sosial menjadi berita mereka. Kerajaan Allah bukan berkaitan dengan masa yang akan datang, masa supranatural, tetapi sudah ada di sini dan sekarang melalui penerapan prinsip-prinsip dan etika Yesus. Adalah penting untuk mencatat bahwa tidak semua kaum liberal-setidaknya bukan di awal tahap dari liberalisme-mengajarkan berita sosial. Liberalisme pada masa permulaan adalah teoritis. Reinhold Niebuhr, seorang teologi neo-ortodoksi, melihat ketidakadilan sosial selama pelayanannya di Detroit dan menjadi seorang kritikus yang vokal dari liberalisme. Injil sosial secara luas merupakan fenomena di Amerika pada abad ke sembilan dan pada permulaan abad dua puluh.[12]

Selain ketiga teolog liberal yang disebut di atas dan ditambah dengan Reinhold Niebuhr, maka ada tiga teolog liberal yang lain dapat diringkas berikut ini:

Teolog Baur, penekanan: Mengembangkan metode kritik historis. Tekankan evolusi historikal dari PB. Pandangan tentang Doktrin-doktrin Kristen: Sangkali wahyu, inkarnasi, dan kebangkitan tubuh Kristus. Ajarkan Kekristenan adalah konflik antara kelompok Yahudi (Petrus) dan non-Yahudi (Paulus).
Teolog: Bushnell, penekanan: Anak-anak dilahirkan baik dan dapat diajar untuk bertumbuh ke dalam Kekristenan. Pandangan tentang Doktrin-doktrin Kristen: Melawan pertobatan seketika. Sangkali penebusan substitusionari Kristus; kematian-Nya hanya suatu teladan.
Teolog: Rauschenbush, penekanan: Menekankan injil sosial; kasih Yesus akan mentransformasi masyarakat. Pandangan tentang Doktrin-doktrin Kristen: Mengajarkan bahwa injil adalah keprihatinan sosial, kepemilikan kolektif, dan distribusi barang sama rata. Tolak penebusan substitusionari dari Kristus, kedatangan-Nya kedua kail, dan neraka secara harfiah.
[13]

II. TEOLOGI EKSISTENSIALIS

Salah satu aliran utama dalam filsafat abad ke-20 adalah eksistensialisme. Sejumlah teolog Kristen mencoba menafsirkan kembali agama Kristen terutama dari segi eksistensialisme.[14]

1. Søren Kierkegaard[15]

Ia dianggap sebagai bapak eksistensialisme Kristen maupun sekuler. Dasar pemikiran Kierkegaard adalah kesenjangan yang tak terhingga antara Allah dan manusia. Ada suatu kesenjangan mutu yang tak terhingga antara waktu dan kekekalan, antara yang terbatas dan yang tak terbatas, antara Allah dan manusia. Tanpa kesadaran akan dosa tidak bakal ada kekristenan sejati. Kesenjangan yang tak terhingga antara Allah dan manusia hanya dapat dijembatani oleh Allah sendiri. Ini telah dilakukan dengan penjelmaan Yesus Kristus. Tetapi Kierkegaard tidak tergerak untuk berusaha mencari Yesus yang historis serta kepercayaan bahwa penting untuk membuat rekontruksi atas kepribadian Yesus historis. Allah menyatakan diri dalam Yesus Kristus, tetapi ini adalah penyataan diri yang terselubung. Dalam Yesus Kristus, Allah tampil secara incognito. Hanya oleh mata iman Allah nyata dalam Yesus Kristus. Hanya mereka yang mempunyai iman ini benar-benar menjumpai Dia. Kesimpulannya adalah bahwa pengetahuan historis tentang Yesus praktis tak ada nilainya.

2. Rudolf Bultmann[16]

Bultmann berkesimpulan bahwa kebanyakan ucapan Yesus yang tercatat tidak berasal dari Yesus sendiri, tetapi dari kehidupan jemaat-jemaat Kristen purba. Bultmann menentang pencarian kaum Liberal tentang Yesus yang historis. Berdasarkan tiga alasan. Pertama, pendekatan skeptis terhadap Injil menutup kemungkinan merekonstruksi gambaran historis Yesus. Kedua, pengetahuan mengenai Yesus yang historis tidak perlu. Ketiga, perhatian terhadap Yesus yang historis sebenarnya tidak sah.

Menurut Bultmann, kesulitan penafsir terletak dalam pandangan hidup yang bersifat “mitologis” dari Perjanjian Baru. “Manusia modern” tidak dapat menerima berita Perjanjian Baru karena ia tidak dapat menerima pandangan hidup mitologis.

Injil Bultmann yang demitologis ini menjadi berita mengenai manusia dan kebutuhannya untuk bertindak secara otentik menghadapi rasa takut dan kegelisahan. Iman –menurut Bultmann_ berarti “pembukaan diri kita secara bebas terhadap masa depan.” Iman merupakan “tindakan penyerahan diri untuk memikul tanggungjawab secara taat, sekaligus suatu rasa bebas tak berpengaruh secara batiniah oleh dunia.” Rupanya pernyataan-pernyataan eksistensialis mengenai manusia. Bultmann sendiri telah mengakui menggantikan teologi dengan antropologi, menafsirkan pernyataan mengenai Allah sebagai pernyataan mengenai kehidupan manusia. “Maka jelaslah bahwa kalau manusia mau berbicara tentang Allah, ia harus berbicara mengenai dirinya sendiri.”

3. Paul Tillich

Tillich menentang ortodoksi, yang katanya mencampur-adukkan kebenaran-kebenaran kekal dengan cara kebenaran-kebenaran yang diungkapkan pada zaman tertentu. Tillich mempunyai metode korelasi. Artinya suatu cara untuk menyesuaikan berita Kristen terhadap pikiran modern tanpa kehilangan sifat khasnya. Metodenya ialah pertama-tama agar memperhatikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh situasi modern. Kemudian harus diberikan jawaban yang didasarkan pada berita kekal (dan bukan hanya diambil dari situasi kontemporer). Uraian tentang iman Kristen terutama bersifat filosofis. Allah bukan suatu Ada (yang mungkin ada atau tidak ada), tetapi Ada itu sendiri. Allah dapat dikatakan bersifat pribadi, tetapi Ia bukan pribadi.[17]

H. Wayne House menambah seorang tokoh Ekistensialis yaitu Martin Heidegger. House mengatakan bahwa kaum Eksistensialis memberi definisi tentang “Meaning of Salvation” adalah: “A fundamental altering of our existence, our outlook on and conduct of life. Obtaining ‘authentic existence’ or being called by God (or the Gospel) to one’s true self and true destinity.” Yang menjadi halangan atau rintangan kepada keselamatan adalah: “Man is imprisoned by his ego rationality and past identity-forming experience. He is living an inauthentic existence.” Tentang “Means of Salvation” dari kaum Eksistensialis, menurut House: “Man must put to death his striving for self-grafitication and security apart from God, place faith and be open to the future. Faith is abandoning the quest for tangible realities and transitory object.”[18]

Melalui internet, Joas Adiprasetya menjelaskan tentang Kristologi Eksistensialis dari Paul Tillich:

Metode yang digunakan Paul Tillich adalah metode korelasi yang menjawab pertanyaan permasalahan (berkaitan dengan keberadaan manusia) dengan jawaban menurut iman Kristen. Kaum eksistensialis ingin menyoroti sifat keberadaan manusia secara ontologi (cabang filsafat yang menyelidiki sifat dan kemungkinan dari eksistensi), apa makna dibalik suatu eksistensi. Ia memahami segala sesuatu yang terkandung di dalam Kristologi dan Soteriologi PB sebagai sebuah simbol yang memiliki makna. Ketika “keberadaan” menjadi pertanyaan dasar dalam filsafat dan teologi, maka timbul juga mengenai permasalahan “keberadaan yang tidak nampak”. Teologi Tillich menjadi tidak konsisten karena keberadaan yang dianggap mendasari semua keberadaan lain justru ada karena memiliki keberadaan tidak nampak yang mendorongnya menjadi ada. Esensi (potensial, kesempurnaan yang belum teraktualisasi) dan eksistensi (perwujudan dari esensi) adalah dua kata penting yang sering digunakan Tillich. Yesus datang sebagai ciptaan baru dalam rangka menjembatani esensi dan eksistensi. Eksistensi yang ada sekarang bukanlah yang asli karena sudah jauh berbeda dengan esensi yang seharusnya (mengalami pergeseran, kehendak bebas manusia mempengaruhinya). Sebagai ciptaan baru, Yesus menjadi “ciptaan baru yang sudah dipulihkan”, sebagai eksistensi asli dengan esensi yang benar (ketika esensi masih berada dalam kesatuan dengan Allah). Jadi kejatuhan manusia (simbol) diinterpretasikan lagi sebagai kejatuhan yang memang harusnya terjadi sebagai proses perubahan dari esensi ke eksistensi yang tidak asli lagi, dan Yesus yang menjembatani untuk memulihkan esensi tersebut. Sebagai ciptaan baru bukan sisi historis Yesus yang penting, tetapi bagaimana ia diterima sebagai Kristus yang memulihkan melalui penyelamatan. Akhirnya di dalam kemanusiaan Yesus terdapat esensi di dalam eksistensi.[19]

III. TEOLOGI KATOLIK-ROMA

1. John Henry Newton

“Traktat-traktat untuk Zaman” merupakan seruan dari sejumlah tokoh gereja kepada Gereja Inggris untuk mengingat warisan Katoliknya. Yang paling dikenal di antara orang-orang, yang kemudian disebut para “Traktarian”, itu adalah John Henry Newton. Akhirnya ia keluar dari Gereja Inggris dan menjadi salah satu teolog Katolik Roma yang terkemuka pada abadnya.[20]

Newton berkesimpulan, secara instuitif bahwa bagaimanapun Roma merupakan Gereja Katolik sejati. Gereja memerlukan wasit yang tak mungkin salah untuk membedakan yang sejati dan yang palsu. Gereja mempertahankan kesatuan organisasi dengan mengorbankan kesatuan doktrin atau mempertahankan kesatuan doktrin dengan mengorbankan kesatuan organisasi (dengan akibat masing-masing gereja bidat kecil menyatakan memiliki kemurnian doktrin). Sekali gereja dibiarkan menjadi penafsir Alkitab yang tidak mungkin salah, maka Alkitab sudah kehilangan wibawanya. Sekali gereja telah mengeluarkan pendapatnya mengenai pokok tertentu, Alkitab tidak lagi dibolehkan berkata melawannya. Newton sendiri mengakui bahwa hubungan antara Alkitab dan ajaran gereja kurang lebih dapat disamakan dengan hubungan antara Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama.[21]

Konsili Vatikan Kedua, yang membenarkan perkembangan doktrin, dapat disebut sebagai Konsili Newton. Bahkan pernah dikatakan secara berkelakar, pada akhirnya Gereja Katolik Roma bertobat kepada Newton, bukan sebaliknya.[22] Itu berarti mulai terjadi perobahan-perobahan doktrin pada umumnya, termasuk doktrin tentang Kristus dan keselamatan.

2. Ineffabilis Deus (1854)[23]

Pada permulaan Abad Pertengahan berangsur-angsur ide bahwa Perawan Maria hidup tanpa dosa mulai diterima. Menjelang abad ke-7 gagasan mengenai Maria yang tak berdosa diterima umum. Pada tahun1854, ini dijadikan dogma oleh Paus Pius IX dalam bulla Ineffabilis Deus. Yang menarik dikatakan dogma ini diterima berdasar pada: (1) oleh anugerah Allah, (2) perkenan Allah yang Mahakuasa, dan (3) berdasarkan amal Yesus Kristus. Tetapi pernyataan ini tidak didasarkan pada Alkitab, hanya didasarkan pada tradisi.

3. Konsili Vatikan Pertama (1869-1870)[24]

Keputusan yang penting diambil adalah Paus tak dapat salah. Tetapi sebenarnya ada dua hasil yang lebih penting yaitu Kontitusi dogmatis tentang Iman Katolik dan Konstitusi dogmatis tentang Gereja Kristus.

Penulis berpendapat bahwa keputusan tentang “Paus tak pernah salah” sangat mempengaruhi doktrin-doktrin Gereja Roma Katolik, termasuk doktrin tentang Kristus dan Keselamatan.

4. Munificentissimus Deus (1950)

Gagasan bahwa Perawan Maria terangkat ke sorga, seperti Henokh dan Elia dalam Perjanjian Lama, pertama-tama terdapat dalam tulisan-tulisan abad ke-4. Abad ke-8 telah diterima umum di Timur. Abad ke-17 mulai dirumuskan menjadi dogma. Tahun 1950 oleh Paus Pius VII dalam konstitusi rasulinya Munificentissimus Deus. Tetapi tidak mencatat apakah Maria meninggal sebelum terangkat, apakah luput dari maut atau dibangkitkan. Doktrin ini merupakan dasar dari kepercayaan-kepercayaan lain mengenai dirinya, terutama menjadi Ratu Surga dan ia adalah Perantara (Mediatrix) yang menengahi antara Allah dan manusia.[25]

Doktrin ini sangat mempengaruhi kehidupan Kristen para Penganut Katolik, yang bukannya berdoa langsung kepada Tuhan Yesus tetapi melalui Maria juga.

5. Pierre Teilhard de Chardin[26]

Teilhard de Chardin adalah salah satu mistikus terkemuka pada abad ke-20. Di samping itu ia seorang teolog dan paleontolog (peneliti binatang dan tumbuh-tumbuhan yang telah punah). Ia berusaha membentuk spiritualitas yang berpusat pada manusia yang makin berkembang menuju “titik Omega” Kristus.

Teilhard tertarik pada hubungan agama Kristen dan pemikiran evolusi. Pandangan-pandangan teologinya ditentang dan dilarang oleh atasannya dari Ordo Yesuit. Namun ketika ia meninggal tahun 1955, teman-temannya menerbitkan karyanya. Akan tetapi, Teilhard memberi tempat terlalu besar pada pemikiran evolusioner, sehingga unsur Kristen terdesak.

6. Konsili Vatikan Kedua (1962-1965)[27]

Di bawah pimpinan Paus Yohanes XXIII, Konsili Vatikan Kedua berakibat Gereja Katolik Roma menjadi lebih bebas. Paus Yohanes dipilih sebagai paus ketika berusia lanjut, tetapi ia mengubah visi mengenai kepausan maupun mengenai Gereja Katolik.

Masa jabatan Paus Yohanes XXIII menandakan titik balik bagi Katolisisme modern. Ia menekankan kebutuhan gereja akan “aggiornamento,” artinya disesuaikan mengikuti zaman. Gereja harus mengejar ketinggalannya dengan dunia modern. Walaupun dogma tidak berubah, pengungkapannya dapat dan harus berubah. Dua dokumen yang terpenting adalah kontitusi dogmatik tentang gereja (Lumen Gentium) dan tentang Penyataan Ilahi (Dei Verbum). Lumen Gentium berupaya memperbaiki ketidakseimbangan yang diciptakan Konsili Vatikan Pertama, yang menitikberatkan kekuasaan absulut dari Paus. Dei Verbum membangkitkan perjuangan yang lebih nyata antara mereka yang kolot dan mereka yang progresif. Dokumen ini melalui lima konsep yang sebelumnya ditolak: (1) Penyataan sekarang dilihat sebagai penyingkapan Allah sendiri (bukan hanya doktrin) melalui tindakan dan perkataan; (2) Injil adalah sumber segala kebenaran yang menyelamatkan dan disampaikan kepada kita dengan dua jalan: tradisi dan Alkitab; (3) Dijaga supaya tidak dinyatakan bahwa tradisi menambahkan dalam Alkitab; (4) Konsep tentang ajaran bahwa Alkitab tidak mungkin salah, dijelaskan; (5) Alkitab dibebaskan pada Vatikan Kedua, Alkitab harus dibaca oleh awam.

Dengan Vatikan Kedua, masa 400 tahun “Katolisisme corak Trente” berakhir. Benteng Roma berubah menjadi gereja peziarah. Penganiayaan telah diganti dengan dialog. Permusuhan terhadap Protestantisme telah berubah menjadi keinginan untuk belajar. Ke arah mana Gereja Katolik Roma akan berkembang, hanya akan kita ketahui sesudah beberapa waktu. Namun satu hal yang pasti adalah, ia tidak akan kembali ke masa sebelum Vatikan Kedua.

Penulis berkesimpulan bahwa Gereja Katolik Roma telah mengalami reformasi dari dalam dan dengan demikian doktrin tentang Kristus dan keselamatan juga mengalami reformasi, meskipun belum secara menyeluruh.

7. Karl Rahner[28]

Rahner termasyhur karena teori “Kekristenan Awanama”. Sikap Katolik Roma tradisional, yang diucapkan dengan jelas dan kejam oleh Cyprianus dan dinyatakan kembali pada Konsili Lateran Keempat, bahwa tidak ada penyelamatan kecuali melalui satu-satunya Gereja Katolik yang nyata dan terorganisasi. Tidak ada penyelamatan melalui “gereja-gereja” tandingan. Ini lebih dipertegas oleh Paus Bonifatius VIII dalam bullanya, Unam Sancium pada tahun 1302. Pernyataan-pernyataan ini masih berlaku di Gereja Katolik Roma, tetapi ditafsirkan kembali. Pada tahun 1854 Paus Pius IX menegaskan kembali doktrin tradisional yang pada prinsipnya dikecualikan kepada mereka yang berada dalam ketidaktahuan yang tidak tertanggulangi. Pada tahun 1949 Romo Feeney, imam berhaluan keras dari Boston, menuntut agar pandangan tradisional dilanjutkan untuk diajarkan. Konsili Vatikan Kedua juga jelas dalam penolakan tafsiran lama.

Teori Karl Rahner mencoba menjelaskan pernyataan-pernyataan itu. Allah menghendaki semua orang diselamatkan (I Timotius 2:4), dan iman dalam Yesus Kristus perlu untuk keselamatan. Ini berarti bahwa semua orang mendapat kesempatan untuk percaya. Ini adalah kesempatan yang historis, bukan kesempatan abstrak secara teoretis. Bagaimana mungkin? Sebab kasih karunia Allah di dalam Yesus Kristus dapat menjangkau manusia melalui agama yang bukan Kristen. Menurut “filsafat trasendental” Rahner, pengalaman masing-masing orang akan yang transeden, yakni dari “rahasia mutlak”, adalah pengalaman akan Allah. “Orang-orang Kristen awanama” ini diselamatkan bukan karena moralitas alamiah mereka, tetapi karena mereka telah mengalami kasih karunia Yesus Kristus tanpa menyadarinya. Kita perlu membedakan antara iman yang eksplisit dan iman yang nyata tetapi tidak diungkapkan, yang belum tembus dari hati ke otak. Orang Kristen awanama adalah orang-orang kafir sesuai misi Kristen dimulai, yang hidup dalam kasih karunia Kristus melalui iman, pengharapan, dan kasih, namun ia tidak mengetahui secara jelas bahwa hidupnya bahwa hidupnya berorientasi kepada Yesus Kristus dalam penyelamatan yang diberikan karena kasih karunia. Mungkin kelemahan terbesar dari teori Rahner adalah perubahan dari suatu kemungkinan luar biasa (bahwa seseorang yang belum pernah mendengar Injil dapat berada dalam kasih karunia) menjadi standar.

8. Hans Küng[29]

Dalam bukunya yang panjang namun populer berjudul “On Being a Christian” Hans Küng mencoba menjawab pertanyaan: “Mengapa menjadi Kristen? Mengapa tidak berusaha menjadi sungguh manusiawi?” Kesimpulannya: hanya orang Kristen sejati saja yang bisa menjadi sungguh manusiawi.

Pada tahun 1962 Paus Yohanes mengangkat Küng sebagai penasihat teologi resmi Konsili Vatikan Kedua. Pada tahun 1970, Hans Küng merayakan 100 tahun perumusan ajaran “paus tak dapat salah” pada Konsili Vatikan Pertama dengan menerbitkan tulisannya, Infallible? An Enquiry (Tak dapat salah? Suatu penyelidikan). Dalam buku ini ia menyerang doktrin tentang paus yang tak dapat salah dengan sengit.

Pemikiran Küng mengalir terus tak terbendung. Dalam karya yang baru, ia menulis Theology for the Third Millenium (Teologi untuk Millenium Ketiga, 1988). Ia mempertimbangkan pendekatan teologi dalam “zaman pascamodern”. Küng sendiri lebih suka menyebutnya sebagai zaman “oikumenis”, dan “dalam pengertian suatu pemahaman baru yang global dari berbagai denominasi, agama dan wilayah.” Oleh karena itu, pendekatannya pada teologi mencakup “suatu permulaan baru menuju suatu teologi agama-agama dunia.”

8. Katekismus Gereja Katolik (1994)

Pada tahun 1985, sebuah sinode uskup diadakan di Roma untuk merayakan 20 tahun penutupan Konsili. Mereka mengungkapkan keinginan untuk membuat suatu katekismus baru. Katekismus ini diterbitkan pada tahun 1994. Katekismus ini juga merupakan Katekismus pertama untuk seluruh Gereja Katolik Roma sejak Pius V lebih dari 400 tahun yang lampau. Tujuan katekismus adalah menyajikan tradisi Katolik Roma dalam terang Vatikan II: Katekismus ini dimaksud sebagai penyajian suatu sintesis organis dari isi doktrin Katolik yang esensial dan fundamental, dengan memperhatikan iman dan moral, dalam terang Konsili Vatikan II dan keseluruhan Tradisi Gereja. Sumber-sumber pokok katekismus ini adalah Kitab Suci, Bapa-bapa Gereja, Liturgi, dan Magisterium Gereja. Katekismus ini mengikuti pola rangkap empat tradisional: (1) Mencakup “pernyataan iman” dan khususnya “Pengakuan Iman Rasuli,” (2) Mencakup perayaan misteri Kristen dan khususnya tujuh sakramen, (3) Mencakup “kehidupan di dalam Kristus” dan khususnya 10 Perintah Allah, dan (4) Mencakup “Doa Kristen” dan terutama Doa Bapa Kami.[30]

Charles F. Baker dalam bukunya “A Dispensational Theology: Teologi Sistematika Dispensasional” menulis tentang Sarana Anugerah:

Dengan sarana anugerah dimaksudkan terutama sarana yang melaluinya keselamatan dari Allah diteruskan kepada orang percaya. ... Harus dikemukakan bahwa sarana anugerah biasanya dikaitkan dengan kata sakramen. Gereja Roma Katolik mengakui tujuh sakramen yang diklaim dilembagakan Kristus, sementara gereja-gereja besar Protestan mengakui hanya dua saja, baptisan air dan perjamuan Tuhan, tetapi memilih menyebutnya peraturan atau ordonansi daripada sakramen.[31]

Baker menulis dalam Bab Sarana Anugerah yaitu tentang Pernyataan Iman Otoritatif dari Gereja Roma Katolik:

”Conc. Trident,” Sess. 7, can. 1—Jika ada yang mengatakan bahwa sakramen-sakramen Hukum Baru, semua bukan dilembagakan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, atau bahwa semuanya ada lebih atau kurang dari tujuh, yakni Baptisan, Peneguhan, Perjamuan Kudus, Penyesalan, Pengurapan Terakhir, Jabatan Suci, dan Pernikahan; atau bahkan bahwa satu yang mana pun dari yang tujuh itu bukan sakramen yang benar dan semestinya; biarlah ia dikutuk.

Can. 4, —Jika ada yang mengatakan bahwa sakramen-sakramen Hukum Baru bukan keharusan untuk keselamatan, tetapi dilebih-lebihkan; dan bahwa tanpa hal-hal tersebut atau tanpa disebabkan olehnya orang memperoleh anugerah pembenaran dari Allah melalui iman saja (walaupun tidak semua sakramen diharuskan kepada setiap orang); biarlah ia dikutuk.[32]

R. C. Sproul menulis dalam bukunya “Kebenaran-kebenaran DASAR IMAN KRISTEN,” bahwa ketika membahas tentang “Usaha Manusia dan Anugerah”:

Teologi Roma Katolik berbicara tentang amal-baik dengan tiga cara yang berbeda. Pertama, amal-baik yang terhormat, amal itu begitu terhormat sehingga harus diberi upah. Kedua, amal-baik yang serasi atau pantas, meskipun ini bukan amal-baik yang terhormat, amal-baik ini serasi dan pantas mendapatkan penghargaan dari Allah. Amal-baik yang serasi ini dicapai dengan melakukan perbuatan baik seturut dengan sakramen pertobatan. Tipe ketiga dari amal-baik ini adalah amal-baik yang luar biasa, yaitu amal-baik yang melampaui apa yang dituntut. Amal-baik ini merupakan hal yang dicapai oleh orang-orang kudus. Amal-baik ini ditabung ke dalam tabungan amal-baik di mana gereja dapat mengambilnya bagi orang-orang kekurangan amal-baik untuk dapat melewati api penyucian (purgatori) menuju surga.[33]

Sproul menambahkan:

Teologi Protestan menyangkal dan memprotes ketiga pengertian amal-baik ini, dan menyatakan bahwa amal-baik yang kita miliki adalah amal-baik dari Kristus. Karya Kristus datang pada kita melalui kasih karunia berdasarkan iman. Kasih karunia merupakan belas kasihan Allah yang diberikan bukan berdasarkan amal-baik kita. Hal ini merupakan tindakan atau inisiatif Allah terhadap kita. Kasih karunia bukan merupakan substansi yang dapat mendiami jiwa-jiwa kita. Kita bertumbuh di dalam anugerah, bukan berdasarkan ukuran secara kuantitas dari substansi di dalam diri kita.[34]

H. Wayne House menambah nama seorang tokoh Katolik Roma yaitu Yves Congar. House memberi arti keselamatan oleh Katolik Roma pada mulanya: “Penerimaan anugerah dari Allah melalui gereja” yang kemudian berkembang menjadi: “Receiving grace either through nature or the church.” House menambahkan: “Catholics are incorporated into the church; non-Chatolic Christians are linked to the church; non-Christians are related the church.” Yang menjadi rintangan/halangan –pendapat lama_ adalah: “Unconfessed mortal sins.” Sedangkan “Means of Salvation” oleh Katolik Roma, pendapat baru: “Penerimaan anugerah melalui partisipasi di dalam sakramen-sakramen gereja;” pendapat kemudian: “Receiving grace through either or the sacraments of the church.[35]

George Barker Stevens menjelaskan tentang Keselamatan oleh Penyatuan dengan Kristus, yaitu Formula dari Rasul Paulus adalah Formula Pembenaran oleh Iman. Rasul mempunyai tiga prinsip mode yang menggambarkan tentang keselamatan, yaitu yang diwakilkan secara baik dalam tiga frasa: pembenaran oleh iman, mati dan bangkit dengan Kristus, dan “being in Christ.”[36]

Stevens mengemukakan pertentangan antara Protestan dan Roma Katolik:

Now our Protestant theology has shown a strong preference for this Pauline maxim of justification by faith as against the Roman Catholic emphasis upon participation in rites and ceremonies considered as conditions of salvation. To the Catholic mind the protestant view has seemed one-sided because, it is said, it eventuates in the error codemned by James, a faith without works, which dead. To the protestant on the other hand, the Catholic theory of salvation has seemed to be only s Christianized Pharisaism—a doctrine of salvation by ceremonial acts which is in principle the very error agaist which Paul so energetically contended.[37]

IV. TEOLOGI INJILI

Kelompok Evangelikal atau Injili telah berusaha dengan lebih atau kurang menyesuaikan diri dengan dunia modern. Namun mereka menandaskan bahwa proses ini tidak boleh mengakibatkan penympangan dalam Injil yang diberitakan Alkitab.[38]

1. Charles Finney[39]

Kalau Calvinisme yang sedang berlaku mengajak orang untuk menunggu secara pasif sampai Allah membuat mereka bertobat, maka Charles Grandison Finney melihat pertobatan itu sebagai tindakan kehendak manusia yang terjangkau oleh kita. Penekanan pada tanggungjawab manusia juga terdapat dalam ajarannya mengenai kebangunan rohani. Menurut tradisi, kebangunan rohani dilihat sebagai tindakan berdaulat dari Allah, yang dapat kita doakan, tetapi yang Allah hanya berikan menurut perkenanan-Nya. Finney menekankan kebebasan dan daya kehendak manusia. Penekanan pada kehendak bebas dan tidak dibatasi mengakibatkan penyangkalan terhadap doktrin dosa turunan. Titik yang paling lemah dalam sistem adalah penegasannya bahwa kehendak itu sama sekali tidak terbatas dan tak teratur. Bagi Finney, watak moral adalah pilihan dari tindakan moral dan bukan sesuatu yang mempengaruhi kehendak. Moralitas dilihat sebagai sejumlah keputusan moral yang terlepas satu dengan yang lain, bukan suatu pemupukan watak moral. Oleh sebab itu, tujuan penginjil adalah mengakibatkan keputusan segera dari kehendak daripada perubahan radikal watak seseorang. Teologi menganjurkan kosep penginjilan yang menghasilkan keputusan-keputusan tersendiri daripada perubahan pandangan yang radikal.

2. Peter Forsyth[40]

Mula-mula Peter Taylor Forsyth berpegang pada tradisi liberal, ia mengalami perubahan dan pindah ke kelompok Evangelikal. Forsyth menulis: “Aku berubah dari orang Kristen menjadi orang percaya, dari penggemar kasih menjadi obyek kasih karunia.” Teologinya sama sekali didasarkan atas Alkitab, tetapi ia sepenuhnya menerima metode dan hasil penelitian Alkitab. Kewibawaan teologi Kristen terletak pada berita Injil yang dicatat dalam Alkitab, dan bukan pada Alkitab sebagai kitab. Alkitab berwibawa sebagai kesaksian utama tentang Yesus Kristus. Seperti Perjanjian Baru sendiri, ia melihat salib sebagai inti iman Kristen. Liberalisme mengajarkan kasih Allah, tetapi menyangkal adanya murka Allah terhadap dosa. Forsyth menemukan kembali kekudusan Allah dan murka-Nya atas dosa. Semua orang menurut hasratnya, memberontak terhadap Allah dan mengasingkan diri dari-Nya. Tetapi pada salib, Allah, di dalam diri Kristus, memperdamaikan kita dengan-Nya.

3. Benyamin Warfield

Benyamin Breckenridge Warfield terutama dikenal karena penjelasannya mengenai doktrin Alkitab. Ia adalah pembela paling tangkas pada zamannya yang mempertahankan pandangan tradisional bahwa Alkitab adalah sabda Allah yang diilhamkan dan tak dapat salah.[41]

Robert L. Reymond menulis pendapat para Reformator, yang mengikuti Paulus, bahwa bukan iman yang menyelamatkan tetapi Kristus yang menyelamatkan melalui atau oleh instrumen iman orang-orang berdosa di dalam Dia. Reymond mengutip penjelasan tentang “iman” dalam bukunya Benyamin Warfield: ‘Faith’ in Biblical and Theological Studies (1952) sebagai berikut:

...the saving power of faith...not in itself, but in the Almighty Saviour on whom it rests. It is never on account of its formal nature as a psychic act that faith is conceived in Scripture to be saving, _ as if this frame of mind or attitude of heart were itsself a virtue with claims on God for Reward.... It is not faith that saves, but faith in Jesus Christ.... It is not, strictly speaking, even faith in Christ that saves , but Christ that saves through faith. The saving power resides exclusively, not in the act of faith or the attitude of faith or the nature of faith, but in the object of faith;...we could not more radically misconceive (the biblical representation of faith) than by transferring to faith even the smallest fraction of that saving energy which is attributed in the Scriptures solely to Christ Himself.[42]

4. Gerrit Berkouwer[43]

Gerrit Cornelius Berkouwer mengakui Alkitab “diilhamkan Allah” (II Timotius 3:16) dan ini “menunjukkan pada misteri bahwa Alkitab diisi dengan kebenaran dan hal-hal yang layak dipercaya.” Berkouwer tidak mau menyangkal bahwa Alkitab adalah sabda Allah. Namun, ia lebih menitikberatkan segi manusiawi Alkitab dibandingkan dengan Warfield. Asal usul ilahi Alkitab tidak meniadakan unsur manusiawinya.

5. Helmut Thielicke[44]

Etika teologis Thielicke adalah etika Evangelikal. Etika itu bukan mengenai bagaimana harus berlaku untuk dibenarkan, tetapi mengenai bagaimana manusia yang sudah dibenarkan akan berlaku. Tidak cukup dengan hanya memperlakukan individu dalam hubungan dengan Allah, keluarganya, dan sesama yang terdekat. Etika harus juga memikirkan masalah-masalah dalam kehidupan politik dan kehidupan sosial ekonomi kita.

Injil harus diwujudkan, ditujukan pada situasi manusia modern yang sebenarnya. Akan tetapi, ini janganlah terjadi melalui proses akomodasi atau penyesuaian, sehingga Injil dipangkas di sana-sini agar disesuaikan dengan pandangan dunia modern. Pada akhirnya kita harus akui manusia alamiah tidak dapat menerima Injil, maka Roh Kudus harus melakukannya.

6. Teologi Evangelikal[45] –perkembangan dewasa ini

Pada permulaan abad ke-19, teologi evangelikal merupakan teologi arus utama. Namun, menjelang akhir abad tersebut, liberalisme teologis mengambil alih tempatnya. Banyak alasan, termasuk pengaruh kuat kupasan kritis terhadap Alkitab dan Darwinisme. Hampir setiap kali ada pergumulan di antara berbagai denominasi Protestan utama, pergumulan selalu dimenangkan oleh kaum Liberal. Evangelikal cendrung menarik diri untuk menjadi Fundamentalisme separitis dan anti kemajuan atau Pitiesme dari dunia lain. Segala sesuatu mulai berubah pada tahun 1940-an. William Temple dan John Stott paling berpengaruh di kalangan Evangelikal Inggris. Kisah yang mirip terjadi juga di Amerika melalui Carl Henry dan Billy Graham.

Ada dua tokoh teolog mungkin harus disebutkan, Thomas Oden seorang Amerika Metodis dan Stanley Grenz, seorang Canada Baptis. Kalau Oden mendukung apa yang disebut sebagai Segi Empat Wesleyan, yaitu: Kitab Suci, tradisi, pengalaman, dan rasio. Sementara Grenz lebih suka berbicara tentang Tiga Pilar atau Norma-norma Teologi, yaitu: pesan alkitabiah, warisan teologis gereja, dan bentuk-bentuk pemikiran dalam konteks historis-kultural yang melaluinya umat Allah kontemporer hidup, berbicara, dan bertindak.

7. Gerakan Pentakostal dan Karismatik

Beberapa Kaum Puritan pada abad ke-17 melihat pengalaman Kristen yaitu pengalaman berkat kedua setelah pertobatan. Abad ke-18, Wesley bersaudara dan yang lainnya mengajarkan suatu pengalaman kedua yang disebut sebagai penyucian menyeluruh atau kesempurnaan Kristen, dan diterima oleh iman kemudian berlanjut sebagai Gerakan Kesucian, terutama di Amerika. Pada abad ke-19, banyak pendeta mencari pembaptisan Roh yang dilihat sebagai pelimpahan wewenang dan kuasa untuk bersaksi dan melayani. Pada abad ke-20, pendekatan ini timbul ke permukaan dan dikaitkan dengan karunia bahasa lidah dan kemampuan karismatis spektakuler lainnya. Kelahiran Pentakostalisme modern dapat ditemukan pada suatu peristiwa kebangunan baru yang terjadi di Topeka, Kansas, pada hari pertama abad ke-20 yaitu 1 Januari 1901. Orang-orang berbahasa lidah dan diidentifikasi sebagai bukti sebagai pembaptisan dalam Roh. Peristiwa lokal ini berubah menjadi fenomena internasional melalui peristiwa yang sama di Azusa Street Los Angeles pada tahun 1906. Dalam tiga tahun menyebar secara cepat di seluruh dunia. Kaum Pentakostal pada umumnya tergolong evangelikal ortodox.[46]

H. Wayne House menambah lagi tiga tokoh penting, yaitu Martin Luther, Jonathan Edwards, dan John Calvin. House memberi definisi keselamatan menurut para teolog Evangelikal/Injili: “Salvation is the change of position before God, from guilty to innocent.” Yang menjadi rintangan/halangan menurut kaum Injili: “Sin breaks relationship with God. Man’s nature is spoiled and inclines toward evil. Sedangkan “Means of Salvation” adalah: “Being justified by faith in the finished work of Christ and receiving the Holy Spirit of God in regeneration, indwelling and sealing unto the day of redemption.”[47]

KESIMPULAN

1. Teologi Liberal, Teologi Eksistensialis, Teologi Katolik Roma, dan Teologi Injili memiliki persamaan dan perbedaannya. Persamaannya, sama-sama para teolog menggunakan Alkitab, apakah sebagai buku yang utama atau salah satu atau satu-satunya.

2. Para teolog sama-sama menganggap sebagai pengikut Kristus, namun ada perbedaan, apakah Kristus sebagai penyelamat atau hanya sebagai guru/contoh/teladan.

3. Para teolog Liberal, pada umumnya menolak dosa warisan, hukuman dosa, penebusan pengganti, tak perlu iman yang menyelamatkan, Tuhan Yesus hanya sebagai guru, contoh, dan teladan. Kematian Kristus pun hanyalah contoh/teladan.

4. Injil sosial bagi kaum Liberal pada waktu itu, adalah jalan keluar dari permasalahan manusia pada umumnya.

5. Teologi Eksistensialis antara lain: pengetahuan historis tentang Yesus praktis tak ada nilainya; “manusia modern” tidak dapat menerima berita Perjanjian Baru karena ia tidak dapat menerima pandangan hidup mitologis; Allah dapat dikatakan bersifat pribadi, tetapi Ia bukan pribadi; Eksistensi yang ada sekarang bukanlah yang asli karena sudah jauh berbeda dengan esensi yang seharusnya.

6. Teologi Katolik Roma telah mengalami reformasi dari dalam, misalnya John Henry Newton berkesimpulan, secara instuitif bahwa bagaimanapun Roma merupakan Gereja Katolik sejati. Gereja memerlukan wasit yang tak mungkin salah untuk membedakan yang sejati dan yang palsu. Tetapi masih tetap mempertahankan doktrin yang tidak didasarkan pada Alkitab, misalnya Perawan Maria hidup tanpa dosa yang pada tahun1854 dijadikan dogma oleh Paus Pius IX dalam bulla Ineffabilis Deus. Demikian juga dengan keputusan Paus tak dapat salah dan Perawan Maria naik se surga seperti Henoch dan Elia.

7. Konsili Vatikan Kedua (1962-1965) telah merubah keberadaan Gereja Katolik Roma. Dua dokumen yang terpenting adalah kontitusi dogmatik tentang gereja (Lumen Gentium) dan tentang Penyataan Ilahi (Dei Verbum). Dokumen ini melalui lima konsep yang sebelumnya ditolak: (1) Penyataan sekarang dilihat sebagai penyingkapan Allah sendiri (bukan hanya doktrin) melalui tindakan dan perkataan; (2) Injil adalah sumber segala kebenaran yang menyelamatkan dan disampaikan kepada kita dengan dua jalan: tradisi dan Alkitab; (3) Dijaga supaya tidak dinyatakan bahwa tradisi menambahkan dalam Alkitab; (4) Konsep tentang ajaran bahwa Alkitab tidak mungkin salah, dijelaskan; (5) Alkitab dibebaskan pada Vatikan Kedua, Alkitab harus dibaca oleh awam.

8. Dengan Alkitab boleh dibaca oleh awam, maka penginjilan di dalam dan antar gereja dapat dilaksanakan, tetapi mempunyai sisi negatifnya, yaitu Gerakan Karismatika merajalela di dalam gereja.

9. Karl Rahner termasyhur karena teori “Kekristenan Awanama”. Teori ini memberi kesan bahwa kita tidak perlu menginjil, karena orang Kristen awanama adalah orang-orang kafir sesuai misi Kristen dimulai, yang hidup dalam kasih karunia Kristus melalui iman, pengharapan, dan kasih, namun ia tidak mengetahui secara jelas bahwa hidupnya berorientasi kepada Yesus Kristus dalam penyelamatan yang diberikan karena kasih karunia. Firman Tuhan dalam Roma 10:17 mengajarkan bahwa kita beriman karena mendengar Firman Tuhan: “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”

10. Doktrin keselamatan Katolik Roma tetap menjadi kendala dengan doktrin-doktrin seperti tujuh sakramen menjadi instrumen keselamatan; doktrin api penyucian (purgatori); apalagi doktrin Perawan Maria menjadi pengantara kedua yang bertentangan dengan I Timotius 2:5 “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.”

11. Kelompok Evangelikal/Injili diwakili oleh Charles Finney –terkenal dengan doktrin pertobatan dan kebangunan rohani—; Peter Forsyth –doktrin yang berpusat pada salib Kristus—; Benyamin Warfield –sebagai pembela paling tangkas pada zamannya yang mempertahankan pandangan tradisional bahwa Alkitab adalah sabda Allah yang diilhamkan dan tak dapat salah—; Gerrit Berkouwer –yang lebih menitikberatkan segi manusiawi Alkitab, asal usul ilahi Alkitab tidak meniadakan unsur manusiawinya—; Helmut Thielicke –terkenal dengan etika teologis Thielicke yang adalah etika Evangelikal. Tidak cukup dengan hanya memperlakukan individu dalam hubungan dengan Allah, keluarganya, dan sesama yang terdekat. Etika harus juga memikirkan masalah-masalah dalam kehidupan politik dan kehidupan sosial ekonomi kita—; dan keterangan tentang Teologi Evangelikal – William Temple dan John Stott paling berpengaruh di kalangan Evangelikal Inggris dan di Amerika melalui Carl Henry dan Billy Graham. Ada dua tokoh teolog mungkin harus juga disebutkan, Thomas Oden (Amerika Metodis) yang mendukung Segi Empat Wesleyan, yaitu: Kitab Suci, tradisi, pengalaman, dan rasio. Sementara Stanley Grenz (Kanada Baptis) lebih suka berbicara tentang Tiga Pilar atau Norma-norma Teologi, yaitu: pesan alkitabiah, warisan teologis gereja, dan bentuk-bentuk pemikiran dalam konteks historis-kultural yang melaluinya umat Allah kontemporer hidup, berbicara, dan bertindak; serta terakhir Gerakan Pentakostal dan Karismatik –Kelahiran Pentakostalisme modern dapat ditemukan pada suatu peristiwa kebangunan baru yang terjadi di Topeka, Kansas, pada hari pertama abad ke-20 yaitu 1 Januari 1901. Peristiwa lokal ini berubah menjadi fenomena internasional melalui peristiwa yang sama di Azusa Street Los Angeles pada tahun 1906. Dalam tiga tahun menyebar secara cepat di seluruh dunia. Kaum Pentakostal pada umumnya tergolong evangelikal ortodox.

KEPUSTAKAAN

Baker, Charles F. A Dispensational Theology: Teologi Sistematika Dispensasional, Jakarta: Pustaka Alkitab Anugerah, 2009.

Berkhof, Louis. Teologi Sistematika Volume 4: Doktrin Keselamatan, Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1997.

House, H. Wayne. Charts of Christian Theology & Doctrine, Michigan: Zondervan, 1992.

Internet: Joas Adiprasetya.

Internet: Paul Enns.

Lane, Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009

Reymond, Robert L. Missionary PAUL Theologian: A Survey of his Missionary Labours and Theology, Scotland: Christian Focus Publications, 2000.

Sproul, R. C. Kebenaran-kebenaran DASAR IMAN KRISTEN, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1997.

Stevens, George Barker. The Christian Doctrine of Salvation, New York: Charles Scribner’s Sons, 1911



[1] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), viii.

[2] Sesuai dengan topik makalah ini, maka penjelasan dalam Teologi Liberal –demikian juga dengan Teologi Eksitensialis, Katolik, dan Injil—hanya berhubungan dengan doktrin Kristus dan keselamatan, kecuali berhubungan dengan sejarah dan hal-hal penting yang menjadi dasar pembentukan teologi tertentu.

[3] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, 198.

[4] Kutipan dari Internet Paul Enns.

[5] Ibid, 198-201. Kesimpulan Tony Lane tentang Friedrich Schleiermacher dan pendapatnya.

[6] Louis Berkhof, Teologi Sistematika 4: Doktrin Keselamatan (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1997), 189.

[7] Ibid, 189-190.

[8] Kutipan dari Internet Paul Enns.

[9] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, 201-202.

[10] Kutipan dari Internet Paul Enns.

[11] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, 202-204. Semuanya merupakan pendapat Harnack.

[12] Kutipan Internet dari Paul Enns.

[13] Kutipan Internet dari Paul Enns.

[14] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, 234.

[15] Ibid, 234-236.

[16] Ibid, 236-240.

[17] Ibid, 240-242.

[18] H. Wayne House, Charts of Christian Theology & Doctrine (Michigan: Zondervan, 1992), 92.

[19] Kutipan Internet dari Joas Adiprasetya.

[20] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, 253-254.

[21] Ibid.

[22] Ibid, 257.

[23] Ibid, 257-258.

[24] Ibid, 258-260.

[25] Ibid, 260-261.

[26] Ibid, 261-263.

[27] Ibid, 263-266.

[28] Ibid, 266-268.

[29] Ibid, 268-271.

[30] Ibid, 271.

[31] Charles F. Baker, A Dispensational Theology: Teologi Sistematika Dispensasional (Jakarta: Pustaka Alkitab Anugerah, 2009), 525-526.

[32] Ibid, 527.

[33] R. C. Sproul, Kebenaran-kebenaran DASAR IMAN KRISTEN (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1997), 263.

[34] Ibid, 263-264.

[35] H. Wayne House, Charts of Christian Theology & Doctrine, 92.

[36] George Barker Stevens, The Christian Doctrine of Salvation (New York: Charles Scribner’s Sons, 1911), 451.

[37] Ibid, 452-453.

[38] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, 205.

[39] Ibid, 205-207.

[40] Ibid, 207-209.

[41] Ibid, 209-211.

[42] Benyamin B. Warfield, ‘Faith’ in Biblical and Theological Studies, dalam Robert L. Reymond, Missionary PAUL Theologian: A Survey of his Missionary Labours and Theology (Scotland: Christian Focus Publications, 2000), 422-423.

[43] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, 211-214.

[44] Ibid, 214-216.

[45] Ibid, 216-218.

[46] Ibid, 218-219.

[47] H. Wayne House, Charts of Christian Theology & Doctrine, 92.

4 komentar: